Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesunguhnya Allah berfirman : Barang siapa yang memerangi wali-ku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai dari pada amalan-amalan yang telah Aku wajibkan baginya. Dan hamba-Ku akan senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku hingga Aku mencintainya. Dan apabila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dengannya dia mendengar, dan Aku adalah penglihatannya yang dengannya dia melihat, dan Aku adalah tangannya yang dengannya dia meraih sesuatu dan kakinya yang dengannya dia melangkah. Dan apabila dia meminta kepadaku maka sungguh Aku akan mengabulkannya, dan apabila dia meminta perlindungan kepadaku, maka sungguh Aku akan memberinya perlindungan. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu terhadap sesuatu, Akulah Pelakunya, sebagaimana kebimbangan-Ku akan jiwa seorang mukmin yang tidak menyukai kematian sedangkan Aku tidak menyukai perbuatan buruknya “ (Diriwayatkan oleh al-Bukhari didalam Kitab ar-Riqaaq, bab. At-Tawadhu’)
Seorang yang mendekatkan diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah sunnah : Adalah seorang yang menunaikan ibadah-ibadah fardhu yang Allah ta’ala wajibkan bagi dirinya, seperti shalat, zakat, puasa dan selainnya, lalu hamba tersebut menambahkannya dengan ibadah-ibadah sunnah, yaitu ibadah–ibadah yang sunnah berupa shalat, puasa, shadaqah dan lain sebagainya dan senantiasa menjaga pelaksanaannya.
Sesungguhnya pengerjaan ibadah-ibadah fardhu merupakan amalan yang paling dicintai oleh Allah ta’ala, dan perintah untuk mengerjakannya merupakan perintah yang menjadi sebuah keharusan, dan bagi yang tergelincir hingga meninggalkannya akan mendapat siksa, berbeda halnya dengan ibadah yang sunnah pada dua ketentuan tersebut, walaupun ibadah yang sunnah juga beroleh pahala sebagaimana ibadah yang fardhu, hanya saja ibadah-ibadah yang wajib lebih sempurna pahalanya.Oleh karena itu ibadah yang fardhu lebih dicintai Allah ta’ala dan lebih mendekatkan hamba tersebut kepada-Nya. Ibadah yang fardhu layaknya sebuah asal dan pondasi sedangkan ibadah yang sunnah seperti furu’/cabang dan bangunan yang berada diatas pondasi tersebut. Pengerjaan amalan-amalan yang fardhu sesuai dengan yang diperintahkan merupakan realisasi dari perintah Allah dan penghormatan terhadap Dzat yang memberi perintah, pengagungan-Nya dengan mentaati-Nya dan menampakkan keagungan Rububiyah Allah serta kerendahan ubudiyah seorang hamba. Dengan begitu pendekatan diri dengan amalan itu merupakan amalan yang paling agung. Dan yang menunaikan ibadah yang fardhu, terkadang menunaikannya karena takut akan siksa sedangkan yang menunaikan ibadah sunnah tidaklah mengerjakannya kecuali sebagai sebuah keutamaan dalam pengabdian kepada-Nya, dengan demikian dia akan dibalas dengan kecintaan – Allah – yang merupakan tujuan tertinggi yang dinginkan oleh hamba yang mendekatkan diri dengan segala pengabdianya.
Dan pada hadits diatas menunjukkan keagungan derajat ibadah shalat, dimana dengan ibadah shalat tersebut akan mendatangkan kecintaan Allah terhadap seorang hamba yang mendekatkan dirinya kepada Allah dengan menunaikan shalat. Dan itu disebabkan ibadah shalat adalah tempat yang pas untuk bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah. Dan tidak ada perantara lagi antara seorang hamba dan Rabb-nya dalam pengerjaan shalat, dan tidak ada sesuatu yang akan disenangi oleh seorang hamba daripada ibadah shalat. Oleh karena itu dalam sebuah hadits dinyatakan :
“ Dan Aku telah menjadikan ibadah shalat sebagai qurrah al-‘ain – kesayangan – bagi hamba-Ku “ (Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no. 3124).
Dan barang siapa yang menjadikan sesuatu sebagai kesayangannya, maka dia akan selalu berharap agar sesuatu itu tidak terpisahkan darinya dan tidak akan beralih keluar darinya karena disanalah hamba tersebut akan mendapatkan kenikmatannya dan dengan itupula kehidupan hamba tersebut akan menjadi indah. Dan hal seperti itu hanya akan dapat dicapai oleh seorang hamba dengan kesabaran atas segala macam rintangan, karena sesungguhnya yang menitinya akan dihadapkan dengan segala rintangan dan kebosanan …
Hadits ini merupakan kaidah dasar dalam pendakian menuju Allah dan pencapaian ma’rifah Allah, kecintaan-Nya dan jalan menuju kepada-Nya. Hal-hal yang diwajibkan secara bathin tiada lain adalah al-Iman, sedangkan yang zahir adalah al-Islam, Sedangkan penyatuan keduanya adalah al-Ihsan dalam kedua perkara tersebut seperti makna yang terkandung didalam hadits Jibril. Al-Ihsan mengandung derajat-derajat orang-orang yang menuju kepada Allah berupa zuhud, ikhlash, muraqabah, dan lain sebagainya. Dan pada hadits tersebut juga menunjukkan bahwa siapa saja yang telah menunaikan segala yang telah diwajibkan baginya kemudian mengerjakan amalan-amalan yang sunnah, doanya tidak akan tertolak, karena adanya janji yang benar ini yang lalu dikuatkan dengan sumpah dari Allah … Dan pada hadits tersebut juga menunjukkan bahwa seorang hamba, betapapun dia telah mencapai derajat tertinggi hingga hamba itu menjadi hamba yang dicintai disisi Allah, tidaklah diperkenankan bagi hamba itu untuk terputus meminta kepada Allah, karena yang demikian menunjukkan ketundukannya kepada Allah dan realisasi ubudiyahnya …
Dan firman Allah : يتقرب إلي “ Hamba itu taqarrub/mendekatkan diri kepada-Ku “ .
Makna at-taqarrub adalah memohon kedekatan. Ada yang mengatakan : Bahwa kedekatan seorang hamba kepada Rabb-nya dimulai dengan keimanannya lalu dengan perbuatan ihsan-nya. Sedangkan kedekatan Rabb kepada hamba-Nya dengan sesuatu yang bersifat khusus didunia berupa pengakuan dari Allah terhadapnya dan diakhirat berupa keridhaan Allah baginya, dan juga dengan hal-hal yang selain itu dari segala bentuk kelemah lembutan dan kebaikan dari Allah. Dan kedekatan seorang hamba kepada Rabb-nya al-Haq tidaklah menjadi sempurna kecuali dengan menjauh dari makhluk ciptaan-Nya. Dan kedekatan ar-Rabb dengan ilmu.pengetahuan-Nya- dan ketentuan-Nya berlaku umum bagi segenap kaum manusia, dan dengan kelemah lembutan dan pertolongan Allah berlaku khusus bagi orang-orang tertentu dan dengan penyertaan Allah yang khusus bagi para wali-wali Allah.
Bagi yang mengerjakan shalat-shalat sunnah setelah menunaikan shalat-shalat yang wajib, akan menjadi seorang yang paling dicintai oleh Allah. Dan apabila Allah telah mencintai hamba-Nya, Allah akan menyibukkannya dengan berdzikir dan taat kepada-Nya dan menjaganya dari syaithan, dan mempergunakan seluruh anggota tubuhnya dalam amal ketaatan, dan menjadikannya cinta utnuk mendengar lantunan bacaan al-Qur’an dan dzikir, dan membuatnya benci dari mendengar suara lagu dan alat-alat musik, dan hamba itu akan tergolong dalam kelompok orang-orang yang Allah berfirman tentang keberadaan mereka :
“ Dan apabila mereka mendengar hal-hal yang melalaikan merekapun berlalu darinya “ (Surah al-Qashash : 55).
Dan Allah ta’ala berirman :
“ Dan apabila orang-orang yang jahil menyapa mereka, mereka mengatakan: Semoga keselamatan bagi kalian “ (Surah al-Furqan : 63).
Dan apabila mereka mendengar dari orang-orang jahil ini perkataan yang keji, mereka menampiknya dan mengatakan perkataan yang mendatangkan keselamatan, dan Allah menjaga pandangan hamba itu dari hal-hal yang diharamkan, sehingga dia tidak melihat hal-hal yang tidak halal baginya. Dan penglihatan dia dijadikan sebagai penglihatan untuk berpikir dan mengambil ibrah, pada akhirnya tidaklah dia melihat sesuatu dari makhluk-makhluk ciptaan Allah kecuali dia akan berargumen dengan sesuatu itu akan keberadaan Pencipta-nya. Ali –radiallahu ‘anhu- mengatakan :
“Tidaklah saya melihat sesuatu kecuali saya telah melihat Allah ta’ala berada dibaliknya“
Dan makna dari al-I’tibar –pengambilan ibrah– adalah merenungi dengan tafakkur akan segala makhluk ciptaan Allah untuk mengerti ketetapan al-Khalik. Maka pada saat itu hamba tersebut akan ber-tasbih memuji-Nya, meng-kuduskan-Nya, mengagungkan-Nya, dan kesemua gerak tangan dan kakinya hanya karena Allah ta’ala. Hamba tersebut tidak akan melangkah menuju suatu yang tidak mendatangkan manfaat baginya dan tidak berbuat dengan tangannya suatu yang sia-sia, melainkan setiap gerak langkahnya dan ketika dia berdiam diri karena Allah ta’ala. Maka hamba itu akan mendapatkan pahala akan hal itu baik dalam setiap gerak langkahnya dan disaat hamba itu berdiam diri dan juga dalam semua perbuatannya.
Firman Allah ta’ala : بالنوافل حتى أحبه “ Dan dengan amalan-amalan yang sunnah hingga Allah mencintainya “ , yang zahir pada firman Allah ini menunjukkan bahwa kecintaan Allah ta’ala kepada seorang hamba akan terjadi apabila hamba tersebut konsisten dalam mendekatkan diri kepada-Nya dengan ibadah-ibadah sunnah. Yang dimaksud dengan ibadah-ibadah sunnah disini adalah ibadah yang mendampingi ibadah-ibadah yang fardhu , mencakupnya serta melengkapinya … Ada yang mengatakan bahwa makna hadits diatas adalah apabila seorang hamba menunaikan ibadah-ibadah yang fardhu kemudian konsisten terus menerus mengerjakan ibadah-ibadah yang sunnah berupa shalat, puasa dan lain sebagainya, hal itu akan mengantarkannya kepada kecintaan Allah ta’ala … Dan juga sebagaimana kebiasaan yang berlaku, mendekatkan diri kepada seseorang biasanya selain penunaian kewajiban oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada seorang lainnya, baik dengan memberi hadiah dan buah tangan, berbeda dengan seseorang yang menunaikan upeti/pajak yang seharusnya dia tunaikan ataukah membayar utang yang harus dibayarkannya. Dan juga diantara alasan disyari’atkannya ibadah-ibadah sunnah adalah untuk mengangkat derajat ibadah-ibadah fardhu … Maka dengan begitu jelaslah bahwa maksud pendekatan diri dengan pelaksanaan ibadah-ibadah sunnah tertuju bagi yang telah menunaikan ibadah-ibadah sunnah bukan bagi yang melalaikannya.
Seperti yang dikatakan oleh sebagian ulama-ulama besar : Barang siapa yang ibadah wajibnya melalaikan dia dari ibadah yang sunnah maka dia dapat diberi udzur, namun seseorang yang ibadah sunnahnya melalaikan dia dari ibadah yang wajib maka dia sungguh telah terpedayakan.
Firman-Nya : كنت سمعه الذي يسمع به “ Maka Aku adalah pendengaran-Nya yang dengannya dia mendengar “ … dst. Ada sedikit kontroversi, bagaimana mungkin al-Baariy – Allah – jalla jalaaluhu adalah pendengaran seorang hamba, penglihatannya dan seterusnya ?. Jawaban akan hal ini dapat disimak dari beberapa sisi :
Pertama : Bahwa hadits tersebut termaktub sebagai suatu permisalan, maknanya: bahwa Aku adalah pendengarannya dan penglihatannya dalam mengutamakan perintah-Ku. Berarti hamba itu mencintai ketaatan kepada-Ku dan mengutamakan melayani-Ku sebagaimana anggota tubuh ini mencintai hal tersebut.
Kedua : Maknanya bahwa kesemuanya terfokuskan hanya kepada-Ku, maka dia tidaklah mendengar mempergunakan pendengarannya kecuali kepada hal-hal yang mendatangkan keridhaan-Ku, dan tidak melihat dengan mempergunakan penglihatannya kecuali kepada hal-hal yang Aku perintahkan.
Ketiga : Maknanya bahwa Saya menjadikan bagi dia sebagai tujuan-nya, seolah-olah dia telah meraihnya dengan pendengarannya, penglihatannya dan seterusnya.
Keempat : Bahwa Saya yang akan memberinya pertolongan sebagaimana pendengarannya, penglihatannya, tangan dan kakinya yang membantunya menghadapi musuhnya.
Kelima : Maknanya bahwa Sayalah sebagai penjaga penglihatannya yang dia pergunakan untuk mendengar, maka diapun tidak akan mendengar kecuali yang halal didengarkan, dan juga penjaga penglihatannya seperti itu juga dan seterusnya.
Keenam : Maknanya bahwa dia tidaklah mendengar kecuali lantunan dzikir kepada-Ku, dan tidak merasakan keledzatan kecuali dengan membaca kitab suci-Ku, tidak merasa tentram kecuali dengan bermunajat kepadaku, tidaklah memperhatikan kecuali segala hal-hal yang menakjubkan yang ada dalam kekuasaan-Ku, tidak menyodorkan tangannya kecuali pada hal-hal yang ada keridhaan-Ku demikian pula kakinya … Ada yang mengatakan : Bahwa para ulama yang pendapat mereka dipergunakan sebagai acuan telah sepakat bahwa ungkapan ini adalah bentuk majaz dan kinayah/ungkapan peribahasa yang menunjukkan pertolongan kepada sang hamba, mengokohkannya dan membantunya … al-Khathtabi mengatakan : ungkapan-ungkapan ini adalah bentuk permisalan dan maknanya adalah taufiq dari Allah bagi hamba-Nya dalam setiap amal-amal perbuatannya yang secara langung bersentuhan dengan anggota-anggota tubuh tersebut. Dan kemudahan baginya untuk mendapatkan kecintaan Allah dalam setiap penggunaan anggota tubuhnya tersebut, yaitu Allah menjaga setiap anggota tubuhnya dan membentenginya dari keterjerumusan kepada hal-hal yang dibenci oleh Allah yang berupa menyimak kepada perkataan yang sia-sia dengan menggunakan pendengarannya, dari melihat hal-hal yang dilarang oleh Allah dengan menggunakan penglihatannya, dengan meraih sesuatu dengan tangannya yang tidak halal baginya, melangkahkan kakinya kepada suatu yang batil …
Ketujuh : al-Khaththabi juga mengatakan : Dan mungkin pula Allah ta’ala mengutarakan kalimat tersebut sebagai ungkapan cepatnya doa hamba tersebut terkabulkan, dan kemudahan dalam setiap permohonan. Dan hal itu dikarenakan bahwa sesungguhnya segala daya upaya manusia hanya dapat tercapai dengan menggunakan anggota-anggota tubuhnya yang tersebut pada hadits diatas.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan